MK Tolak Uji Materi Soal Perkawinan Beda Agama dan Usia Perkawinan
Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak permohonan uji materi atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, baik uji materi atas Pasal 2 ayat (1) tentang sahnya perkawinan maupun Pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang usia perkawinan.
"Alhamdulillah, uji materiil atas UU Perkawinan baik terhadap Pasal 2 ayat (1) tentang sahnya perkawinan maupun Pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang usia perkawinan dinyatakan ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi pada sidang tanggal 18 Juni siang hari ini," kata Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, HM Luthfie Hakim, SH., MH kepada Suara Islam Online, Kamis sore (18/06).
Disebutkan, hakim konstitusi memutuskan pasal-pasal yang diuji materi sama sekal tidak melanggar konstitusi.
"Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Kamis (18/6/2015).
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa agama menjadi landasan bagi komunitas, individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara negara, menurut hakim, berperan menjamin kepastian hukum serta melindungi pembentukan keluarga yang sah.
Menurut hakim, bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi.
Hakim berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.
UU perkawinan ini digugat oleh seorang mahasiswa dan beberapa alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra. Perkara ini teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XII/2014.
Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Menurut pemohon, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.
Sementara pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini diajukan oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari, Sabaniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."
Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."
Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar