Penjelasan Tentang Hak Prerogatif Presiden
A. Pengertian Hak Prerogatif
Hak prerogatif Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain.[3] Hal ini bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat.
Tugas pokok pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan undang-undang. Untuk itulah dalam konsep negara hukum modern sekarang ini terdapat suatu lembaga kewenangan yang disebut Freises Ermessen, yaitu suatu kewenangan bagi pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat tersebut. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah dalam bidang pemerintahan implikasi freises ermessen ini ditandai dengan adanya hak prerogatif.
B. Perubahan Konstitusi
Menurut Sri Soemantri kata mengamandemen Konstitusi/UUD sama dengan mengubah Konstitusi/UUD. Pendapat beliau didasarkan pada arti mengubah UUD yang dalam bahasa Inggris berarti to amend the constitution, sedangkan kata perubahan Konstitusi/UUD berarti constitution amandement. Dengan demikian menurut Beliau, mengubah Konstitusi/UUD dapat berarti dua, yaitu pertama mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam Konstitusi/UUD dan kedua menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam Konstitusi/UUD.[4]
Biasanya yang menyusun Konstitusi adalah Konstituante. Konstituante ini adalah suatu badan yang dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti Konstituante hasil pemilihan umum 1955 yang bertugas menyusun UUD pengganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula Konstitusi disusun oleh badan yang sejenis dengan Konstituante, walaupun mungkin bukan hasil pemilihan umum, umpamanya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyusun UUD 1945.
Konstituante atau badan yang sejenis dengannya itu terdiri dari kelompok manusia, maka Konstitusi itu adalah hasil karya mereka. Sebagaimana layaknya setiap hasil karya manusia, walaupun yang membuatnya tergolong ahli, Konstitusi itu tidak mungkin sempurna dan tidak pula akan pernah berlaku seterusnya tanpa perubahan. Ketidak sempurnaan suatu Konstitusi mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama Konstitusi itu adalah hasil karya yang bersifat kompromi, kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri sangat terbatas. Karena Konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia yang tidak mungkin berbeda-beda, maka hasil karya mereka itu yaitu Konstitusi merupakan hasil kompromi dari berbagai aliran dan kepentingan.
Dilihat dari sudut keterbatasan manusia, maka hasil karya yang bernama Konstitusi itu tidak akan sanggup mengatur setiap masalah yang akan menjangkau jauh ke depan. Konstitusi itu pada kurun waktu tertentu dianggap sempurna, tapi di lain waktu mungkin dirasakan tidak lagi memadai, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Maka Konstitusi yang sudah tidak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan masyarakat akan mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan Konstitusi dengan perkembangan masyarakat. Dari sudut inilah dirasakan perlunya suatu Pasal dan setiap Konstitusi yang mengatur tentang prosedur perubahan.
Berbagai cara dalam praktek dapat ditempuh untuk merubah suatu Konstitusi/UUD, tergantung kepada substansi Pasal perubahan di dalamnya. Tetapi sesuai dengan pembagian Konstitusi, rigid dan fleksibel, maka sudah barang tentu bagi Konstitusi yang tergolong fleksibel jauh lebih mudah untuk merubahnya. K.C. Wheare mengatakan perubahannnya cukup dengan the ordinary legislatif process. Sedangkan untuk Konstitusi yang tergolong rigid, menurut Sri Soemantri yang berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka cara perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan permasalahan-permasalahan tertentu
2. Oleh rakyat dengan suatu referendum
3. Oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat
4. Dengan kebiasaan ketatanegeraan, atau untuk suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.[5]
Menurut Ismail Suny, bahwa proses perubahan Konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, karena:[6] Perubahan resmi, Perubahan hakim dan Kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.
Dalam praktek ketatanegaraan, kebiasaan ketatanegaraan sering berfungsi merubah ketentuan yang telah ada. Sebenarnya kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut kemudian akan berlaku kembali, jika kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.
C. Kekuasaan Presiden
Kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : kekuasaan yang diperoleh secara atributif dan kekuasaan yang diperoleh secara derivatif. Perolehan kekuasaan secara atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli (oorspronkelijk) dan pembentukan kekuasaan secara atributif menyebabkan adanya kekuasaan baru. Sedangkan kekuasaan secara derivatif disebut pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain dan sifatnya derivatif (afgeleid). Kekuasaan yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau diderivasikan kepada pihak lain.
Kekuasaan yang diperoleh secara atributif melalui UUD 1945 juga dimiliki oleh Presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) dan selaku Kepala Negara. Kekuasan Presiden yang diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan secara teoritis hanya dapat dilaksanakan oleh Presiden dalam fungsi selaku kepala eksekutif.
Ditinjau dari sumber formalnya, kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kekuasaan yang berdasarkan UUD 1945, kekuasaan yang berdasarkan ketetapan MPR dan kekuasaan yang berdasarkan undang-undang. Menurut Suwoto Mulyosudarmo untuk menentukan kekuasaan yang diperoleh secara atributif yang dilaksanakan dalam tugasnya selaku kepala eksekutif, adalah:[7] Sifat kekuasaan yang asli, Sumber formal yang utama, untuk jenis kekuasaan ini adalah UUD 1945 dan Undang-undang,
Kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan tugas selaku kepala pemerintahan adalah:
1. Kekuasaan membuat undang-undang yang meliputi kekuasaan mempersiapkan dan mengusulkan pembentukan undang-undang dan menetapkan undang-undang.
2. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
3. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
4. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
Pembuat UUD 1945 mengatur secara rinci macam substansi yang harus ditetapkan dengan bentuk UU. Substansi yang harus ditetapkan dengan UU, menurut pembuat UUD 1945 adalah:[8]
a. Menyatakan keadaan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
b. Menetapkan syarat-syarat dan akibat negara dalam keadaan bahaya dalam bentuk UU.
c. Menetapkan dan menyusun Anggaran Pendapatan Negara dan Belanja Negara yang dimintakan persetujuan kepada DPR.
d. Menetapkan segala macam pajak untuk keperluan negara dengan undang-undang.
Kekuasaan atributif Kepala Negara digunakan untuk kepanjangan kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan yang bersifat atributif Kepala Negara itu adalah:
a. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
b. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya, Presiden tidak perlu minta persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dengan undang-undang. Ini berarti memerlukan persetujuan DPR.
c. Presiden mengangkat duta dan konsul, serta menerima duta dari negara lain.
d. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
e. Presiden memberi gelar, tanda jasa kepada orang yang berjasa pada bangsa atau negara.
HAK PREROGATIF PRESIDEN
A. Hak Prerogatif Menuurut UUD 1945 (Sebelum Amandemen)
Untuk melihat pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden dalam ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, berikut ini dijelaskan mengenai sejarah singkat ketiga UUD tersebut beserta ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur mengenai Hak Prerogatif Presiden.
Pada masa pendudukam Japang di Indonesia, yaitu pada tanggal 29 April 1945 dibentuk suatu badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan, yang mulai bekerja pada tanggal 28 Mei 1945 dan telah melakukan sidang dua kali, yaitu dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dan dari tanggal 10 sampai 17 Juli 1945.
Pada tanggal 16 Juni 1945 Badan Penyelidik menyetujui rancangan UUD untuk negara Indonesia merdeka dan pada tanggal 9 Agustus 1945 oleh pemerintah Jepang dibentuk badan baru yang dinamakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan bertugas menentukan UUD dan hal-hal lain untuk persiapan kemeerdekaan Indonesia. Belum sempat panitia ini menjalankan tugasnya, pada tanggal 15 Agustus 1945 Japang telah menyerah dan dinyatakan kalah perang oleh sekutu, sehingga tugas dari panitia ini tetap dilanjutkan dibawah kendali bangsa Indonesia sendiri yang dipimpin oleh Soekarno dengan menanbah anggotanya yang berasal dari perwakilan nasional dari bangsa Indonesia. Termasuk ketua dan wakil ketua PPKI menjadi 27 orang yang berasal dari seluruh tanah air dan mewakili segala lapisan bangsa Indonesia.[9]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945. Pada tanggal 16 Juli dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan beberapa perubahan. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Sembilan yang dibentuk dengan Ketuanya Bung Karno.
Dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut terdapat Pasal-Pasal tentang hak prerogatif Presiden, yaitu:
(1) Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 : Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Fungsi Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) yang dimaksud ini adalah untuk mengatur pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang telah lebih dahulu tercantum dalam undang-undang. Tegasnya PP ini dibuat oleh pihak eksekutif yaitu Presiden. Mungkin dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah sesuatu hal tidak secara terperinci diatur, sehingga untuk pelaksanaannya harus diatur dan diperinci lagi di dalam PP tersebut. Dalam hal ini, instansi pembuat undang-undang pusat menyerahkan kekuasaan perundang-undangan kepada instansi eksekutif untuk mengatur selanjutnya hal yang dimaksud dalam PP sebagai pelaksanaan dari undang-undang.
(2) Pasal 10 UUD 1945 : Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Menurut penjelasan UUD 1945, kekuasaan yang tersebut dalam Pasal 10 UUD 1945 tersebut termasuk konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai kepala negara. Kedudukan Presiden di dalam Pasal ini bukan sebagai Commander in Chief melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut di atas adalah bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan perang Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.
(3) Pasal 11 UUD 1945: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Dari ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas diketahui apakah akan perang ataupun damai dengan negara lain, rakyat turut menentukannya lewat perwakilannya di DPR. Ini sesuai dengan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengingat pula bahwa resiko perang maupun damai pada hakikatnya terpikul dipundak rakyat.
Perang, damai dan membuat perjanjian adalah tindakan yang menyangkut pergaulan dan politik nasional. Maka ketiga macam tindakan ini selain berpedoman kepada hukum dan politik nasional juga berpedoman kepada hukum internasional dan dilakukan oleh Presiden dengan bantuan organ politik luar negeri.
Mengenai perjanjian dengan negara lain, persetujuan dari DPR biasanya harus diperoleh pada waktu akan diadakan pengesahan atau ratifikasi dari suatu perjanjian internasional, yang sebelumnya sudah ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri atau seorang Duta Besar dari masing-masing pihak dan suatu negara baru terikat oleh suatu perjanjian setelah perjanjian itu diratifikasi.
(4) Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dalam undang-undang.
Yang di atur dalam Pasal 12 UUD 1945 di atas pada pokoknya adalah bahwa yang berwenang menyatakan keadaan bahaya adalah Presiden, berarti melalui suatu keputusan Presiden. akibat dari keadaan bahaya yang diumumkan itu diatur dalam suatu undang-undang, demikian juga perihal syarat-syarat untuk menyatakan bahaya sebelum Presiden menyatakan keadaan bahaya, lebih dulu memperhatikan situasi dan memperhatikan kepada pedoman yang mengatur persyaratan keadaan bahaya ataupun Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu). Dalam ketentuan Perpu yang pernah ada yaitu Perpu No. 23 Tahun 1959 maka dikeluarkan Keppres No. 315 Tahun 1959 yang menyatakan seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan perang dan berlaku mulai tanggal 16 Desember 1959. Dalam Perpu ini ditentukan tiga macam tingkatan keadaan bahaya dengan syarat sebagai berikut:
1. Keadaan darurat sipil; apabila keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan negara secara biasa.
2. Keadaan darurat militer; apabila timbul perang atau dikhawatirkan perampasan wilayah RI dengan cara apapun.
3. Keadaan perang; apabila hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan khusus ternyata ada dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan kehidupan negara.
(5) Pasal 13 UUD 1945: (1) Presiden mengangkat duta dan konsul; (2) Presiden menerima duta negara lain.
Pengangkatan duta dan konsul oleh Presiden ini berarti bahwa duta dan konsul merupakan pegawai negeri istimewa, yang pengangkatannya tidak diserahkan kepada seorang menteri. Pengangkatan ini dapat dimengerti oleh karena mereka mewakili resmi negara dalam hubungan internasional dengan pemerintah negara asing dimana mereka ditempatkan.
Seluruh tindakan dan kebijaksanaan tentang pengangkatan dan penerimaan wakil-wakil negara lain adalah termasuk kebijaksanaan mengatur relasi internasional. Selain terikat oleh norma-norma hukum nasional juga terikat oleh norma-norma hukum internasional.
Setiap negara berhak mengirimkan wakilnya, tidak berarti wajib mengirimnya. Jadi boleh tidak mempergunakan hak itu, jika dipandang tidak perlu. Tetapi setiap negara dalam keadaan normal berkewajiban menerima wakil diplomatik dari negara lain dan seharusnya mengirim wakilnya pula ke negara yang bersangkutan.
(6) Pasal 14 UUD 1945: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Grasi adalah hak Kepala Negara untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim dengan keputusan yang tidak dapat diubah lagi kepada seseorang ataupun menukar hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan tersebut dalam Pasal 10 KUHP. Grasi diberikan kepada seseorang atas permohonan kepada Kepala Negara. Grasi diberikan dalam hal kejahatan biasa dan diberikan setelah selesainya penuntutan dan telah dijatuhkan hukuman. Jika kepada seseorang telah berikan grasi, kejahatan yang telah dilakukannya dan telah dijatuhkan hukuman itu dipandang masih ada, sehingga kalau ia mengulang berbuat kejahatan lagi, maka dalam hal ini dipandang ada pengulangan recidive sehingga berakibat memberatkan hukuman.
Amnesti adalah hak Kepala Negara untuk meniadakan akibat hukum yang mengancam terhadap suatu perbuatan atau sekelompok kejahatan. Amnesti diberikan secara massal terhadap suatu perbuatan atau sekelompok kejahatan. Dalam hal ini kejahatan yang dimaksud seolah-olah dilupakan dan dipandang tidak ada, sehingga tidak berakibat hukum apa-apa. Amnesti lahir atas inisiatif Kepala Negara sendiri, bukan dimohon. Dalam hal amnesti, andaikata orang yang bersangkutan berbuat jahat lagi setelah adanya amnesti, disini kejahatan yang pertama yang diberi amnesti dipandang tidak ada lagi, sehingga kejahatan yang berikutnya tidak dipandang sebagai pengulangan dan tidak berakibat memberatkan hukuman.
Abolisi adalah hak Kepala Negara untuk menggugurkan hak penuntutan umum buat menuntut seseorang. Abolisi berlaku dalam hak kejahatan politik seperti amnesti dan abolisi diberikan secara massal ataupun satu orang pada saat sebelum adanya penuntutan.
Rehabilitasi adalah hak Kepala Negara untuk mengembalikan seseorang kepada kedudukan dan nama baiknya yang semula tercemar oleh karena suatu keputusan hakim yang tidak benar.
(7) Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Pemberian gelar dan tanda jasa ini tidak hanya diberikan kepada warga negara Indonesia, melainkan juga kepada pejabat-pejabat dari negara asing yang dianggap oleh Indonesia telah berjasa. Pemberian tanda-tanda ini kepada warga negara Indonesia ada yang disertai peraturan bahwa si penerima tanda-tanda itu mendapat perlakuan istimewa.
(8) Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Menteri-menteri ini sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR. Menurut sistem Presidensiil ini, dengan adanya Presiden saja telah ada pemerintahan.
Kedudukan menteri itu tergantung pada Presiden. Presiden berhak penuh mengangkat, memberhentikan, menggantikan menteri dan tidak lagi diperlukan adanya badan sebagai formatur yang berhak menyusun komposisi dan personalia kabinet, berpedoman kepada efisiensi kerja.
Menteri-menteri negara adalah pemimpin departemen. Dalam praktek menteri-menteri inilah yang terutama menjalankan kekuasaan eksekutif. Merekalah yang lebih mengerti tentang seluk beluk departemennya dan pada hakikatnya mereka berpengaruh pada Presiden dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dalam lingkungan departemen masing-masing.
(9) Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: Dalam hal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dalam Pasal ini memberikan hak kepada pemerintah Presiden) untuk membuat peraturan darurat. Peraturan darurat yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Hak membuat peraturan darurat ini hanya boleh digunakan bila ada hal kegentingan yang memaksa.
Di negara yang aktif menyelenggarakan kesejahteraan umum yakni di negara hukum yang modern, pemerintah sebagai organ eksekutif diikursertakan aktif bahkah untuk menetapkan kebijaksanaan dan langkah-langkah tertentu secara tegas dan cepat, apalagi dalam keadaan mendesak buat menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Jadi sebagian daripada kekuasaan legislatif dari DPR dialihkan kepada pemerintah sepihak. Untuk pelaksanaannya pemerintah dalam Pasal ini diberikan fungsi legislatif yaitu suatu kekuasaan perundang-undangan dalam membuat Perpu.
Kekuasaan undang-undang atas inisiatif sendiri itu, hanya diberikan kepada pemerintah dalam hal adanya keadaan yang memaksa atau mendesak, yaitu pemerintah harus bertindak cepat dan tegas yang penyelenggaraannya tidak dapat ditunda lagi dan tidak dapat ditunggu lagi tersusunnya suatu undang-undang sebagai hasil kompromi antara DPR dan pemerintah. Dalam pembuatan Perpu, memang hak inisiatif diberikan sepenuhnya di tangan pemerintah yang diberikan oleh UUD.[10]
B. Hak Prerogatif Presiden Setelah Amandemen UUD 1945
MPR RI telah menetapkan perubahan pertama UUD 1945 dalam sidang umum MPR RI tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999. perubahan kedua, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari tanggal 7 sampai dengan tanggal 18 Agustus 2000. perubahan ketiga, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tahun 2001. Dan perubahan keempat, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 11 Agustus 2002.
Dalam amandemen UUD 1945 tersebut terdapat Pasal-Pasal tentang hak prerogatif Presiden, yaitu:
1. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945: Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang membuat akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
2. Pasal 13 ayat (2) UUD 1945:
(1) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
(2) Presiden menerima duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
3. Pasal 14 UUD 1945:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
4. Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
5. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
6. Pasal 23F ayat (1) UUD 1945: Anggota badan pemeriksa keuangan dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
7. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945: Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
8. Pasal 24B ayat (3) UUD 1945: Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
9. Pasal 24C ayat (3) UUD 1945: mahkamah konstitusi mempunyai sembilan anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden.
C. Pergeseran Hak Prerogatif Presiden
Dari ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia itu, pada batang tubuhnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur Hak Prerogatif Presiden. Untuk melihat pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden dalam ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, berikut ini dijelaskan mengenai sejarah singkat ketiga UUD tersebut beserta ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur mengenai Hak Prerogatif Presiden. Pada Dalam UUD 1945 pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden tersebut diatur dalam beberapa Pasal, dari ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal itu kedudukan sebagai pemegang hak prerogatif sangat besar dalam artian tanpa campur tangan pihak lain.
Dalam KRIS 1949 juga terdapat pengaturan mengenai hak prerogatif Presiden, namun dalam KRIS 1949 ini ada pembatasan dalam melaksanakannya seperti harus diisyaratkan terlebih dahulu dengan berdasarkan undang-undang federal. Sedangkan dalam UUDS 1950 pelaksanaan hak prerogatif Presiden sangat besar berada dalam kewenangan Presiden, namun mulai adanya keikutsertaan lembaga lain, misalnya MA dalam pelaksanaan proses pemberian grasi. Walaupun demikian tetap saja hak prerogatif itu mutlak di tangan Presiden.
Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak tiga kali. Ternyata banyak terdapat beberapa Pasal saja di dalam batang tubuh UUD 1945 mengenai hak prerogatif Presiden yang berubah dan ditambah serta satu pasal yang tidak dirubah tapi berdasarkan undang-undang penerapannya berubah. Pasal-Pasal tersebut di atas adalah: Pasal mengenai prosedur pengangkatan Kapolri diatur dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002: Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR, disertai alasan-alasannya. Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul Presiden tersebut harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR. Dalam hal DPR tidak memberikan jawaban dalam waktu yang ditentukan, calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh DPR. Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR. Calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian Negara RI yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Dengan adanya kasus penonaktifan Kapolri dijabat oleh Jenderal Bimantoro berdasarkan Keputusan Presiden Abdurahman Wahid selaku Presiden RI waktu itu, telah menimbulkan krisis. Penonaktifan Kapolri oleh Presiden pada waktu itu di dasarkan pada UU No. 28 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri itu merupakan kewenangan mutlak Presiden.
Pemberhentian itu terjadi sekitar tahun 2000 setelah dikeluarkannya TAP MPR No. Vi/MPR/2000, yang menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus dengan persetujuan dari DPR. Dalam kasus ini kedua belah pihak saling melontarkan argumentasi-argumentasinya masing-masing. Dari pihak Kapolri penonaktifan itu tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, TAP MPR No. Vi/MPR/2000. Sedangkan dari pihak Presiden Keppres itu dkeluarkan karena sudah memenuhi ketentuan dan didasarkan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 dan TAP MPR tersebut berlaku apabila peraturan perundang-undangan lainnya yaitu undang-undang tentang kepolisian yang baru sudah ditetapkan untuk menggantikan undang-undang yang lama.
Sekarang juga dalam pengangkatan Panglima tentara Nasional Indonesia (TNI) dimintakan persetujuannya oleh DPR. Pemerintah mengusulkan calon panglima TNI kepada DPR, kemudian melakukan tes terhadap calon panglima TNI untuk melihat visi dan misi calon tersebut. Setelah calon panglima TNI tersebut memperoleh persetujuan dari DPR, maka calon panglima TNI tersebut akan diangkat oleh Presiden sebagai panglima TNI.
Mengenai Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, mengenai kalimatnya ada perubahan, tetapi dari substansi yang diaturnya masih sama dengan Pasal 11 UD 1945 (sebelum amandemen). Di dalam pembuatan perjanjian internasional itu terkandung tiga tahapan, yaitu: tahapan perundingan, tahapan penandatanganan dan tahapan pengesahan.
Walaupun dalam membuat perjanjian internasional itu mengandung beberapa tahapan, namun tujuan akhirnya adalah menghasilkan adnaya perjanjian tersebut yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan. Maka yang penting dari tahapan pembuatan perjanjian itu adalah pada tahap pengesahannya dan disinilah DPR mempunyai peran.
Presiden dalam membuat perjanjian internasional itu harus dengan persetujuan DPR, ini berarti terjadinya perjanjian yang mengikat adalah apabila perjanjian itu dilakukan dengan disertai persetujuan dari DPR. Jadi persetujuan dari DPR tersebut tidak perlu ada pada tahap perundingan ataupun penandatanganan, tetapi cukup pada tahap pengesahan. Tidak ada gunanya tahap-tahap perundingan dan penandatanganan itu bagi suatu perjanjian yang mensyaratkan pengesahan apabila pengesahan itu ternyata tidak dapat dilakukan.
Pada Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 terdapat keikutsertaan DPR dengan memberikan pertimbangannya terhadap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain. Dengan adanya peran DPR dalam memberikan pertimbangan berupa pendapat tertentu baik atau buruk walaupun keputusan yang diutarakan sebagai nasehat kepada Presiden. Walaupun demikian keputusan akhir tahap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain tetap berada di pihak Presiden.
Oleh karena itu sebagai pembantu-pembantu Presiden, mereka bertanggungjawab atas pekerjaannya kepada Presiden seperti menteri-menteri lainnya. Sudah semestinya pengangkatan duta itu merupakan kewenangan Presiden. Di dalam hukum internasional, Kepala Negara itu dianggap sebagai lambang negara dengan segala kehormatan dan kewibawaan negara, sehingga dengan sendirinya sudah seharusnya kalau soal pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta konsul adalah menjadi kewenangan Presiden sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Kepala Negara.
Duta merupakan orang yang ditunjuk oleh negara untuk mewakilinya di negara lain di mana ia ditempatkan. Mereka yang pada umumnya dibawah departemen luar negeri setiap negara, adalah merupakan pembantu-pembanu Presiden dalam menjalankan kebijaksanaan politiknya yang lebih difokuskan terhadap hubungan luar negeri.
Mengenai pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR, hal ini dimaksudkan hanya untuk mendapat dukungan saja dari DPR. Apabla dukungan dari DPR terhadap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain tidak ada, dan Presiden tetap dengan keputusannya. Maka Presiden tidak dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden. Presiden dapat diberhentukan dari jabatannya itu atas usul DPR kepada MPR hanya dapat di dasarkan pada ketentuan Pasal 7 A UUD 1945.
Pada Pasal 14 UUD 1945, tidak ada pemisahan kewenangan sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Tetapi setelah dilakukan amandemen, kewenangan tersebut tetap menjadi kewenangan Presiden dengan pemisahan kewenangan memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA dan kewenangan memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
KESIMPULAN
1. Hak prerogatif Presiden merupakan konsekuensi dari kecenderungan menganut faham hukum material (walfare state) dan berdasarkan isi dari pembukuan dan batang tubuh UUD 1945, negara Indonesia menganut konsep negara hukum material yang memungkinkan pemerintah memperluas jaringan tugas-tugasnya di Indonesia yang meliputi bidang-bidang pemerintahan, perundang-undangan dan peradilan.
2. Dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, mempunyai pengaruh terhadap kedudukan Presiden dalam melaksanakan hak prerogatifnya. Hak prerogatif Presiden yang sebelum amandemen dilaksanakan bukan murni untuk melaksanakan kewajiban Konstitusional Presiden, teapi sering dipergunakan sebagai imbalan jasa politik. Setelah amandemen UUD 1945 terjadi pergeseran dalam penerapan hak prerogatif Presiden, yaitu dengan diikutsertakan lembaga negara lainnya dalam pelaksanaan hak prerogatif.
3. Dalam sistem pemerintahan negara Indonesia yang sebelum dilakukannya amandemen menggunakan sistem pemerintahan quasi Presidensiil, ternyata setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 masih dipertahankan. Dalam amandemen UUD 1945 mengenai hak prerogatif Presiden tidak mengakibatkan berubahnya sistem pemerintahan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar